Dari “Jeger” ke “Nyetun”: Rolling Stones sebagai Ikon Budaya Pop di Indonesia

Bagaimana Band Rolling Stones Memengaruhi Kultur Pop Indonesia

Nathania S. Alexandra
5 min readApr 12, 2023
Foto personil band Rolling Stones oleh Mark Seilger. Dari kiri: Charlie Watts (drummer), Ronnie Wood (bassis), Mick Jagger (vokalis), dan Keith Richards (gitaris). Sumber: Twitter (at))RollingStones

Di jalanan kampung, tampak pria dengan rambut jambul dan baju dilinting. Sosok yang dikenal warga sekitar sebagai si preman kampung. Kadang ia menggunakan topi yang sekadar ditangkringkan di kepala, yang penting tidak silau, tapi yang lebih utama jambulnya tetap terlihat. Itulah pemandangan yang sering dilihat Jimi Multhazam, vokalis band The Upstairs dan Morfem, di Jakarta era 1980-an.

Kala itu Jimi masih anak sekolahan, dekade tersebut menjadi masa di mana ia menjadi anak SD hingga SMA di Jakarta. Jimi ingat jelas gambaran preman-preman dahulu yang seolah keluar dari poster band Inggris Rolling Stones pada era album “Some Girls”. Mereka itulah yang dipanggil orang-orang “jeger”.

Panggilan jeger tidak hanya menjadi panggilan yang biasa bagi mereka yang mengenal band Rolling Stones. Nama itu datang dari nama sang vokalis sekaligus pentolan band, Sir Michael Philip Jagger alias Mick Jagger. Lahir pada 1943, rocker tersebut masih aktif bernyanyi, menari di panggung, bepergian tur, dan merekam album baru hingga saat ini bersama dengan gitaris Keith Richards yang adalah gitaris orisinil Rolling Stones. Tapi siapa yang sangka kalau band dengan logo lidah menjulur itu masih bisa awet hingga saat ini?

Enam dekade umur Rolling Stones tidak sekadar memberikan waktu untuk menulis dan merekam 30 album studio. Dalam kurun waktu itu, Rolling Stones berhasil menjadi ikon budaya pop dunia, termasuk Indonesia. Salah satu buktinya adalah dari bagaimana istilah jeger untuk preman diambil dari nama Jagger.

Lantas, embel-embel “stones” yang terkadang berubah menjadi “setun” atau “nyetun” yang kerap digunakan masyarakat Indonesia yang memberi tribut kepada band rock itu. Kata-kata itu dipakai untuk nama band cover, komunitas pecinta Rolling Stones, acara-acara tribut, atau sekadar singkatan untuk Rolling Stones. Sudah menjadi sebuah kebiasaan untuk beberapa kalangan di Bandung untuk menyahut, “A, setun, A,” ketika meminta lagu Rolling Stones dimainkan.

Bahkan lucunya, istilah-istilah tersebut telah menjadi sesuatu yang sangat sering digunakan sampai tidak semua yang menggunakannya tahu asal-muasalnya. Menurut Muhammad Irfan atau yang lebih dikenal sebagai Irfan Popish, seorang jurnalis musik Indonesia yang sempat meneliti tentang pengaruh Rolling Stones di kehidupan masyarakat Kota Bandung, bagian-bagian dari band itu sudah menjadi bagian dari keseharian.

Stones itu di Bandung bahkan familiar bukan hanya buat fans, tapi juga masyarakat awam,” ucapnya. Irfan mencontohkan bagaimana orang-orang tidak perlu mengenal Jagger untuk tahu istilah jeger sebagai kata ganti preman. Irfan juga melihat bahwa pemakaian embel-embel “Stones” pada akhirnya tidak eksklusif untuk Rolling Stones. “Kadang ya general sebagai rock barat saja … jadi maknanya bisa macem-macem,” ungkap Irfan.

Menginspirasi Musisi Indonesia

Pengaruh Rolling Stones tidak hanya sampai di gaya berpakaian dan istilah-istilah serapan. Band ini ternyata menjadi panutan bagi sejumlah musisi Indonesia. Contoh saja salah satu band terbesar saat ini di tanah air, Slank. Selain dari lagu “Bimbim Jangan Menangis” yang jelas-jelas terinspirasi dari lagu “Fool to Cry” dari segi musik maupun liriknya, Slank juga mengamini semangat Rolling Stones. “Spirit yang bisa bertahan lama dengan member yang (sama itulah yang) jadi spirit kita,” ungkap gitaris Ridho Hafiedz yang kagum melihat kelanggengan Rolling Stones.

Ridho juga mengagumi karisma Jagger dalam bernyanyi dan mengutamakan bagaimana band bisa benar-benar menghibur penonton. “Gimana caranya supaya penonton juga asik dengan menambahkan elemen-elemen lain yang enggak ada di lagu aslinya, jadi kalo nonton ada sesuatu yang seru,” tuturnya. Ridho juga memuji Jagger yang masih menjaga kesehatannya. Buktinya, ia masih kuat berlari-lari di panggung. “Buat gua, look sebagai performer itu sangat (penting),” katanya.

Kekaguman yang sama pun dilontarkan oleh Jimi The Upstairs. “Sampe udah aki-aki masih kuat lari di panggung tiga jam itu dahsyat, sih, gue rasa kalo dibilang dia narkobaan itu gimmick,” ujarnya yang diakhiri dengan tawa. Jimi tidak percaya desas-desus kalau Jagger lama kecanduan narkoba melihat idolanya yang masih dalam kondisi prima itu.

Jimi adalah salah satu orang yang lama mengikuti gaya Rolling Stones. Setelah mendengarkan lagu “Nervous Breakdown” di rumah teman SD-nya, ia langsung mendeklarasikan dirinya sebagai seorang penggemar Rolling Stones. “Gue pulang langsung petantang-petenteng, langsung kaya menemukan diri gue,” katanya. Hingga saat sudah berkarier sebagai musisi, Jimi masih mengidolakan Rolling Stones. Mungkin pengaruhnya tidak langsung terdengar dalam musik-musiknya di The Upstairs maupun Morfem. Hal yang Jimi ambil adalah cara Rolling Stones mengambil nada-nada sederhana yang mudah menyangkut di kepala pendengar. “Lo ga perlu chord-chord rumit untuk have fun,” ucapnya.

Sebagai ikon, Rolling Stones juga sukses dalam memasarkan diri. Mulai dari logonya yang hingga saat ini masih terpakai dimana-mana, sampai kepada kesuksesan mereka setiap kali merilis album. Jimi menjelaskan kejeniusan band tersebut dalam mengikuti tren-tren musik. Rolling Stones pernah mengeluarkan album yang lebih mengarah kepada musik punk hingga reggae. Namun, musik-musik itu pun tetap diwarnai dengan ciri khas band itu yang berisi nada-nada blues yang dicampur musik rock and roll. “Mereka ga merubah core musiknya, tapi ambil tren musik yang ada dan mainin dengan gaya mereka,” tutur Jimi.

Perasaan Jimi bahwa Rolling Stones memanglah sebuah ikon didukung oleh bassis band The Brandals, Radhitya Almatsier. “Kekuatan Rolling Stones sampai sekarang di Mick Jagger, sih,” katanya. Radhit merasa bahwa hingga saat ini memang belum ada musisi yang dapat menyandingi rocker itu. Opininya mulai menguat ketika menonton penampilan duetnya bersama Bono, vokalis band U2 yang umurnya 18 tahun lebih muda dari Jagger. “Tapi power vokal (Jagger), energi dia di panggung, masih dia banget yang menang jauh ketimbang Bono,” sebutnya.

Masih Bertahan dan Relevan

Kegemaran pada Rolling Stones tidak berhenti sampai di generasi mereka yang remaja pada era 1980-an. Seperti halnya budaya lainnya, Rolling Stones sebagai bagian dari budaya pop pun diturunkan kepada generasi-generasi muda. Jimi The Upstairs mengaku sering mengajak anaknya menari dengan lagu “She’s So Cold” sejak baru mulai merangkak. Tidak berhenti di situ, ia lanjut memperkenalkan satu album penuh “Emotional Rescue”. “Kalo lagi dipasang itu albumnya, (anak saya) langsung nyengirnya gede banget,” sebut Jimi, mengingat memori hangat bersama anaknya yang kini sudah berumur 21 tahun.

Pengamat musik sekaligus pendiri Aksara Records, David Tarigan, mengungkapkan bagaimana Rolling Stones jelas masih memiliki pengaruh sebagai ikon budaya pop. “Susah juga bilang seberapa besar impact-nya. Ya, kebayang impact non-musik aja gede, apalagi impact musiknya,” ungkapnya.

David menceritakan bagaimana selebrasi tribut Rolling Stones di gang-gang kota besar maupun pelosok pun masih terjadi. “Salah satu band paling populer di negeri ini yang fanbase-nya udah kayak ormas, (Slank) ya, ibaratnya Slank aja udah kayak ‘Tuhan’. Nah si ‘Tuhan’ ini punya Tuhan lagi, namanya Rolling Stones,” tuturnya.

Begitulah cerita bagaimana api semangat Rolling Stones hingga saat ini belum juga padam. Hingga saat ini, masih terdengar di beberapa perkumpulan teriakan, “A, setun, A,” di tengah pertunjukkan musik. Masih tertempel rapi stiker-stiker logo lidah merah yang dijulurkan. Masih berkeliaran pula orang-orang dengan gaya jagoan yang dijuluki si jeger di areanya masing-masing.

Jagger melantunkan, “Everywhere I look, I see your eyes (di manapun aku menoleh, aku melihat matamu),” dalam lagu “Angie”. Untuk itu, kita dapat menjawab, “Kemana pun aku pergi, aku melihat Rolling Stones hidup di sini.” Panjang umur, Rolling Stones!

DISCLAIMER: Artikel ini disusun sebagai tugas mata kuliah Narrative Journalism, Program Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia tahun ajaran 2022/2023.

CATATAN: Seluruh wawancara dilaksanakan pada Juli 2022 untuk artikel “60 Tahun The Rolling Stones” di Koran Tempo oleh saya pribadi.

— Nathania S. Alexandra, 2023

--

--

Nathania S. Alexandra

A story-teller and lover of tunes. Also known as Nathantania and mewseeshan.