Hidup Selamanya (dalam Hati Kami): Ketika Band Kesayanganmu Sedang Tidak Aktif

Kisah Superfan Oasis dan Linkin Park

Nathania S. Alexandra
8 min readJun 19, 2023
Penampilan Liam Gallagher dan band-nya di Ecovention Ancol, Jakarta, 14 Januari 2018. Foto oleh Bahtiar, The Jakarta Post.

Minggu, 14 Januari 2018, segerombolan orang berkumpul bersama-sama di depan gerbang Ecovention Ancol, menyanyikan keras lagu-lagu dari band kesayangan mereka, Oasis. “YOU AND I ARE GONNA LIVE FOREVER! Anj*ing! Gua ngerasa bener bakal hidup selamanya anj*r di momen itu,” ungkap Ricky Alfiandy dengan semangat dan tampang penuh nostalgia di wajahnya, mengingat momen tak terlupakan di hidupnya itu.

Bagaimana bisa dilupakan? Bagi Ricky, momen ia menonton konser tunggal Liam Gallagher, mantan vokalis sekaligus frontman band Oasis adalah momen ia akhirnya bertemu dengan sosok yang ia anggap “Lordstar”-nya. “Bahkan ketika gua punya cucu pun itu bisa jadi cerita gua buat cucu gua nanti,” kata pria yang tahun ini menginjak usia 33 tahun itu. Suaranya bergetar dengan semangat.

Setiap bercerita tentang Oasis dan Liam Gallagher, Ricky selalu terlihat berapi-api. Bahkan di tengah kericuhan ruangan hotel yang berisi selusin manusia yang sedang menginap bersama, suaranya tetap jelas. Padahal, di ruangan yang sama, tiga orang perempuan bersuara nyaring sedang sibuk berkaraoke, menyanyikan lagu-lagu popular era 2000 dan 2010-an. Tetapi hal itu tidak mengganggu Ricky sedikit pun, ia terlihat fokus dengan ceritanya.

Perjalanan Ricky menyukai Oasis dimulai pada 2009, tepat ketika band itu memutuskan untuk bubar. “Pas banget, after mereka bubar, gua baru mulai denger lagunya,” ucapnya. Di saat itu, kawannya suka memasang lagu-lagu Oasis. Dari situlah Ricky yang masih remaja mulai tertarik dengan tembang-tembang asik yang ia dengar. Namun yang benar-benar menarik hatinya bukan hanya musik dari Oasis, tapi justru sosok Liam Gallagher sang vokalis yang gayanya brutal itu. “Jiwa gua kaya.. gua merasa kaya.. anj*r ini orang keren banget anj*r,” kata Ricky, tidak berhenti menyelipkan kata-kata kasar, tanda ia memberi penekanan pada perasaannya.

Penjelasan Bubarnya Oasis oleh Rock n’ Roll True Stories

Hal yang paling membuat Ricky terkagum adalah melihat “si brengsek Liam” yang brutal itu tetap dicintai oleh para penggemarnya. “Ya di Indo kan banyak banget artis-artis kontroversi(al) dan sensasional, tapi ya, menurut gua kaya angin aja lewat, set, berasa, ilang. Tapi si Liam? Lewat, berasa, tapi ga pernah ilang, ninggalin bekas,” ungkapnya. Dengan segala kekonyolan vokalis tersebut, Liam tetap dicintai, digemari, dan bahkan ditiru gayanya oleh banyak orang.

Ricky begitu mengidolakan Liam hingga rela mengganti klub bola favoritnya dari Manchester United menjadi Manchester City. “Itu agak kocak sebenernya sih, ya balik lagi karena si Liam sama si Noel (Gallagher) kan… si brothers dua ini suka Man(chester) City dari zaman dululah. Nah gua jadi, anj*r, masa my idol nih sukanya City, masa gua dukungnya MU kan ga mungkin banget, tuh, kaya berseberangan banget,” tuturnya.

Liam dan Noel Gallagher menggunakan jersey Manchester City. Foto oleh Kevin Cummins.

Aku menggelengkan kepala mendengar itu, justru lucu bahwa Ricky rela berubah haluan menjadi pendukung Manchester City hanya karena mengikuti idolanya. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa Ricky benar-benar mencintai sosok Liam Gallagher dan Oasis. Hal itu terlihat dari perjuangannya membeli tiket konser tunggal Liam lima tahun yang lalu di tengah kondisi yang kurang baik.

“Gua kan sempet sakit dua tahun autoimun. Gua mulai membaik, agak better-lah dibanding sebelumnya,” ujar Ricky. Di saat itu ia bahkan sedang tidak bekerja karena penyakit itu. “Tapi karena… anjr*t, men, ini momen yang langka banget dan belum tentu Liam bakal dateng lagi ke Indo, jadi mau ga mau ya gua dateng,” lanjutnya, sambil melipat kedua tangan dan sesekali memandang ke langit-langit di sebelah kiri, seperti sedang menggali memorinya.

Ricky mendeskripsikan momen itu sebagai momen yang unik. Tentu saja ia tidak punya tabungan karena sedang tidak bekerja dan ia tidak mungkin meminta uang dari orang tuanya yang sudah banyak membiayai pengobatannya selama dua tahun ke belakang. Solusinya, Ricky menggadaikan sepeda motornya. “Gua gadai ke adek gua, buat nonton dia (Liam Gallagher),” ucapnya dengan ekspresi seolah tidak mempercayai tindakannya sendiri. Setitik pengorbanan yang akhirnya dihadiahi dengan satu tiket festival untuk menonton sang “Lodstar”, Liam Gallagher.

Tapi itu semua sepadan bagi Ricky. Satu hari bertemu dengan Liam dalam jarak yang dekat dan melihat idolanya membawakan lagu-lagu Oasis. Melihat Liam membawa bendera Indonesia dengan rasa hormat dan meletakannya di atas bass drum adalah hal yang tak terlupa. Hanya satu hal yang kurang. “Gua ngarepin banget sih, kalo misalkan mereka (Oasis) utuh secara band, dateng ke Indo, itu gua rasa kaya lagunya Noah, ‘Mimpi yang Sempurna’ dalam hidup gua,” ujar Ricky.

Liam Gallagher menyanyikan “Live Forever” di Ecovention Ancol, Jakarta, 14 Januari 2018.

***

Kasus yang berbeda terjadi untuk Bimo Deviantoputra, penggemar berat band Linkin Park. Waktu itu, ia masih anak umur 11 tahun, duduk di kelas 5 SD, menonton konser band rock bersama ayah dan kakak sepupunya. Suatu kebanggaan baginya untuk bertemu dengan band favoritnya walau dari tribun-tribun yang jauh.

Hari itu bukan akhir pekan. Rabu, 21 September 2011, Bimo berkesempatan menonton Linkin Park setelah membujuk ayahnya untuk membelikan tiket. Hari itu spesial bagi anak SD yang dibolehkan menonton di malam sekolah. Sayang, Bimo tidak begitu banyak mengingat detail-detail lagu ataupun stage act yang dibawakan malam itu. Tiket dan rekaman pun sudah tiada.

Satu hal yang tidak hilang dari memori Bimo adalah euforia konser malam itu. “Gua cuman inget momen gua nyanyi kenceng banget sambil megang teras-terasnya tribun GBK (Stadion Gelora Bung Karno) pada waktu itu,” ungkapnya, memperlihatkan ekspresi yang cukup semangat untuk orang dengan pembawaan tenang. Itulah yang tersisa dari kenangan konser pertama seumur hidupnya.

Linkin Park membawakan “In The End” di Gelora Bung Karno, Jakarta, 21 September 2011.

Meski tidak banyak hal yang ia ingat, fakta bahwa Bimo sempat menonton konser Linkin Park menjadi kebanggaan besar baginya. Ia bahkan tidak bisa menahan wajah bangganya ketika datang ke sekolah esok harinya, siap memamerkan tiket konsernya ke semua teman yang ia temui hari itu. Kesempatan Bimo mungkin tidak bisa dirasakan oleh penggemar-penggemar Linkin Park lainnya. Apalagi, setelah vokalis Chester Bennington meninggal dunia sejak 2017.

“Mengingat tahun ini tuh, kayak hampir semua band ke Indonesia gitu kan, kayak, ah… mereka tuh bisa lho kalo ke Indo padahal,” ucap Bimo, merindukan band kesayangannya itu. Aku mengangguk perlahan, mengerti dan menjawab, “If only.”

Meninggalnya Chester di tahun 2017 bukanlah berita yang mudah ditelan bagi Bimo. Apalagi, ia sudah menyukai Linkin Park selama satu dekade pada saat itu. Semuanya dimulai setelah ia menonton film Transformers (2007) oleh Michael Bay di segmen Box Office Indonesia di Trans TV. Di akhir film, lagu “What I’ve Done” oleh Linkin Park muncul dan Bimo langsung tertarik dengan alunan tersebut.

Adegan akhir film Transformers (2007) dengan lagu “What I’ve Done” oleh Linkin Park.

Bimo yang masih berumur 7 tahun saat itu dengan niat mencari lirik dan menerjemahkannya secara mandiri, bait per bait, kata per kata. “Dari situ gua udah mulai kayak… terus mulai dengerin…,” katanya. Urutan katanya berantakan, seperti sulit menyusun kata-kata untuk mengingat pengalamannya saat masih kecil. Bimo mencari sendiri diskografi Linkin Park dari internet dan mengunduh gratis MP3 dari situs-situs seperti 4shared di kala itu. “Terus suka deh akhirnya sampe sekarang!” ucapnya dengan senyum lebar, bangga.

Semakin lama wawancara berlangsung, Bimo semakin terlihat bangga namun sendu. Seperti bahagia karena membahas band kesayangannya, tetapi sedih juga karena rindu. Linkin Park menempati ruangan yang spesial di hati Bimo. Itulah sebabnya kematian Chester cukup berdampak baginya.

“Kangen parah…,” kata Bimo, namun tertawa setelahnya. Ia merasa konyol, soalnya ia bahkan tidak mengenal Chester Bennington secara langsung.

Bimo masih ingat momen ia melihat berita duka itu. Kamis, 20 Juli 2017, saat itu ia masih duduk di bangku SMA. Seperti biasa, bangun sebelum jam 6 pagi mengejar jam sekolah. Tetapi pagi itu berbeda. Kedua mata Bimo tertuju dan terpaku pada unggahan di Twitter. “Hah? Masa sih?” adalah kata-kata yang sanggup ia lontarkan di kepalanya sendiri.

Thread tribut untuk Chester Bennington oleh Twitter resmi Linkin Park (@linkinpark).

Di depan matanya tertulis, Rest in Peace Chester Bennington. “Ya singkat ceritanya, gua menjalani hari dengan tidak baik aja sih,” kata Bimo dengan wajah kecut sambil memaksakan tawa. “Kayak, yah.. sedih. Kayak males sekolah dan segala macem segala macemnya,” ucapnya. Bimo tidak menangis, tetapi fakta di mana ia tidak mungkin menonton band kesayangannya secara live, mendengar lagu-lagu baru dari mereka, ataupun mendengarkan suara ikonik Chester lagilah yang membuatnya terpukul.

Waktu berlalu, Bimo lulus dari SMA, dan menjadi anak kuliahan. Dunia kuliah mempertemukannya dengan kawan-kawan baru yang juga memperluas referensi musiknya. Namun, sejauh-jauhnya ia berlari, hatinya tetap kembali kepada Linkin Park.

Momen spesifik yang ia ingat adalah ketika Bimo pergi bersama teman-teman kuliahnya. “Pertengahan kuliah tuh, kayaknya abis dari bar atau dari mana itu, lagi nyetelin lagu-lagu emo gitu, terus muncullah tiga lagu Linkin Park. Terus kayak, anj*ng, gua nyanyi paling kenceng,” ujar Bimo. Keesokan harinya, Bimo langsung membuat playlist berisi diskografi lengkap Linkin Park dari album pertama “Hybrid Theory” hingga album terakhir “One More Light”.

Playlist Linkin Park oleh Bimo Deviantoputra di Spotify.

Di tahun keduanya kuliah, Bimo juga memutuskan untuk menonton konser tunggal salah satu vokalis Linkin Park, Mike Shinoda. Awalnya ia skeptis, takut apabila lagu-lagu yang dibawakan lebih banyak pada proyek-proyek sampingannya. Tetapi Bimo tidak menyesal, karena pada akhirnya ia berdampingan dengan gerombolan penggemar lainnya, ada di dalam Hall D2 JIEXPO Kemayoran, menyanyikan seluruh bagian Chester Bennington yang dikosongkan oleh Mike Shinoda saat ia membawakannya di atas panggung.

“Gua respect, sih, dia (Mike Shinoda) ga nge-input suaranya Chester di… di… sebagai backing vocal dan sebagainya,” kata Bimo, kembali terbata-bata. Malam itu, suara-suara para penonton menggantikan semua bagian yang seharusnya dinyanyikan oleh Chester Benington. “Super emotional aja, sih, kayak, we all get to sing his part,” ucap Bimo sambil tersenyum.

Mike Shinoda membawakan “In The End” di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, 4 September 2019.

Mungkin saat ini, hal yang dapat ditunggu dari Linkin Park hanya berbentuk demo-demo lama yang akhirnya dirilis secara resmi di platform streaming, tapi Bimo masih menunggu. “Mau nanti tiba-tiba ada… ada recurring… tiba-tiba muncul unreleased demo lagi, ataupun kayak they’ve gone completely silent sampe nanti, atau mereka disband, atau… pun mereka mau… tiba-tiba, I hope not, menggantikan Chester dengan penyanyi lain, ya terserah. Cuman intinya mereka bakal selalu menjadi band favorit gua,” tuturnya, kembali dengan senyum kebanggaannya.

Bimo juga masih menginginkan konser Linkin Park. “Gua ga peduli apakah mereka literally ngosongin semua track-nya Chester pake suara kita atau mereka cuma ngisi beberapa part doang, atau kayaka apapun itu, gua pasti bakal nonton, sih,” katanya.

Koleksi rilisan fisik Linkin Park milik Bimo Deviantoputra. Dokumentasi pribadi Bimo Deviantoputra.

Harapan itulah yang juga dimiliki oleh Ricky terhadap Oasis. Reuni kedua kakak-beradik Liam dan Noel Gallagher untuk kembali menyanyikan lagu-lagu Oasis sebagai satu band yang utuh setidaknya, satu kali lagi, adalah impiannya. Mengingat balasan Liam saat memegang bendera Indonesia di konsernya ketika para penonton yang meneriakkan, “How many special people change?!” yang adalah lirik “Champagne Supernova”. Ia hanya menolak, dan berjanji akan menyanyikan lagu itu ketika ia kembali ke Jakarta suatu saat nanti.

Mungkin harapan-harapan itulah yang akan “Live Forever”, seperti lagu Oasis yang diteriakkan oleh para penonton bersama dengan Ricky saat itu. Mungkin Linkin Park dan Oasis sedang tidak berjalan aktif saat ini. Tetapi, musik mereka tetap hidup selamanya di dalam hati dan lekat di dalam memori para penggemarnya. Setidaknya, itulah yang diceritakan Ricky dan Bimo. Semoga suatu hari nanti, harapan mereka terwujud. Namun kalaupun tidak, biarlah musik dan kenangan yang sudah ada tetap tinggal di hati mereka, dan seluruh penggemar Oasis dan Linkin Park di seluruh dunia.

Video klip “Live Forever” oleh Oasis.

DISCLAIMER: Artikel ini disusun sebagai tugas kuliah Program Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia tahun ajaran 2022/2023.

— Nathania S. Alexandra, 2023

--

--

Nathania S. Alexandra

A story-teller and lover of tunes. Also known as Nathantania and mewseeshan.