Tato sebagai Gambaran Kisah Hidup

Nathania S. Alexandra
6 min readMay 21, 2023

Berbincang dengan Yosua Tan, alias Profesor Seniman Muda, sang tattoo artist

Yosua Tan memegang mesin penato. Foto oleh Dhendy Neqiu (sumber: Instagram gallery_dhendy)

Waktu sudah lewat dari jam dua belas malam. Seorang pria dengan potongan rambut pendek berponi tiga sentimeter datang ke luar dengan sebatang rokok. Wajahnya dihiasi sebingkai kacamata aviator tipis dan dua gambar permanen, tato bertuliskan “Never Stop” di atas alis kanannya dan gambar mesin penato di bawah mata kirinya. Ia terlihat serius, seperti menahan diri untuk bertingkah seekspresif biasanya.

Sembari mengatur posisi duduk, pria itu menghela napas. Tubuh yang tadinya dibalut oleh kemeja flanel kini hanya terhias oleh kaus hitam. Lengan pendek kaus itu mengekspos kedua tangannya yang dipenuhi oleh tato. Tidak berhenti di situ, ia juga mengenakan celana jeans dengan bagian lutut yang bolong sehingga tato-tato di kakinya terlihat.

Pria itu adalah Yosua Tan. Orang-orang mengenalnya sebagai tukang tato, seniman, teman tongkrongan, dan keluarga. “Awalnya gua emang hobi gambar, terus abis itu emang gua demen dengan kesenian aja, sih,” ucap pria berumur 29 tahun yang lebih dikenal sebagai Iyos itu ketika aku menanyakan mengapa ia memutuskan untuk menjadi seorang tukang tato.

Iyos tahu benar bahwa tubuh bertato adalah sesuatu yang cukup kontroversial di negara tinggalnya. Tapi menurutnya, tato adalah seni. “Gua emang pengen banget badan gua bertato, jadi kaya dengan gua hobi gambar, terus kaya mengapresiasilah,” tuturnya, sembari mengingat masa lalunya.

Sesekali Iyos mengetuk-ngetuk batang rokoknya ke atas asbak. Dengan sabar ia menjawab setiap pertanyaan yang terlontar satu per satu. Jawabannya selalu cepat, seperti ia tidak perlu menutup-nutupi apa yang sebenarnya ia pikirkan. Aku kemudian bertanya kepada Iyos bagaimana pendapatnya tentang orang-orang yang tubuhnya bertato.

“Keliatannya, awalnya keren, ya, kalo kata orang awamnya,” kata Iyos dengan kalimatnya yang berantakan tapi apa adanya. “Tapi kalo setelah ini kaya … kalo udah jaman sekarang jadi kaya lifestyle, ya,” lanjutnya. Aku tidak mengerti apa yang ia maksud dengan sudah menjadi gaya hidup, mungkin karena aku sendiri tidak bertato.

Iyos akhirnya kembali menjelaskan. “Ya, jadi, misalnya dia ga pede, dia jadi pede, gitu,” ungkapnya. Aku mengangguk bersemangat dan mengucapkan “Oh”. Ternyata itu yang ditawarkan tato bagi sebagian orang, kepercayaan diri. Benar juga, jika seseorang merasa lebih keren, itu akan membantunya lebih percaya diri.

Tapi tato bukan saja soal keren atau tidak keren. Itulah yang ditekankan oleh Iyos sambil memasang wajah seriusnya. Tato adalah komitmen yang akan terpampang seumur hidup. “Konsepnya, lu harus mikirin banget mateng-mateng. Kalo lu … kalo lu pengen beli tato, ya,” sebut Iyos, agak terbata-bata karena bersemangat, “Jadi lu kayak ga ngasal-ngasal ngikutin anak-anak jaman sekarang gitu.”

Tato bukanlah sesuatu yang sembarangan digambar dalam tubuh seseorang. Sebagai seorang seniman, Iyos sendiri melihatnya sebagai apresiasi perjalanan hidup. Apa yang ada di dalam tato harus bisa menceritakan kisah hidup orang itu.

Prinsip Iyos tercermin dari seluruh tato yang ada di tubuhnya. Ia pertama kali membuat tato di tahun 2012 dengan tulisan singkat, provokatif, dan berani, “F*CK 1980. Era tersebut membekas bagi Iyos sebagai era yang kacau. “Persetan dengan jamannya Petrus (penembak misterius),” ungkap tukang tato bergaya brandal keturunan Tionghoa itu. Membaca sejarah tentang masa di mana orang-orang dinilai berdasarkan penampilan fisik semata-mata membuat Iyos geram. Aku pikir, itulah yang membuatnya bersemangat membuktikan kepada dunia bahwa orang-orang bertato tidak seperti yang dipikir masyarakat pada umumnya.

“Ya lu lakuin yang bener aja. Maksudnya, ya, dia nganggep lu apa … kayak lu mencuri, ya lu lakuin jujur. Dibalikin aja. Jadi orang juga bakal nilai sendiri walaupun banyak yang ga suka, tapi lu tetep jalanin aja. Jalanin yang benerlah. Entar juga orang nilai sendiri,” tutur Iyos. Ia juga bercerita kalau justru sejauh ini, mayoritas orang bertato yang ia kenal adalah orang-orang yang jujur.

Tato-tato lain yang ada di tubuh Iyos juga tidak kalah bermakna. Setiap coretan memiliki makna, dan setiap sisi tubuhnya sudah diperuntukkan untuk tato-tato tertentu. Tangan kanan untuk peringatan seperti surga dan neraka, garis-garis tebal yang menggambarkan kerasnya hidup di dunia, granat sebagai simbol untuk tidak bermain api, tengkorak, dan pengingat-pengingat lainnya agar ia berhati-hati dalam menggunakan tangannya.

Tepat di seberang seluruh peringatan, Iyos menghiasi tangan kirinya dengan seluruh kebaikan ia terima. Ia menorehkan tulisan “Mother and Father”, gambar Perjamuan Kudus Yesus dan kedua belas muridnya, cinta, pesan dari anime favoritnya “Crows Zero”, nomor kesukaan, tulisan “Blessed”, dan huruf K sebagai logo raja (king) yang melambangkan dirinya sebagai kepala rumah tangga di masa depan.

Di wajahnya terdapat dua tato yang menggambarkan dirinya sebagai seorang seniman. Mesin penato dengan makna harfiah serta tulisan “Never Stop (Jangan Berhenti)” sebagai pernyataan bahwa ia tidak akan pernah berhenti berkarya. Iyos menceritakan seluruh tato dan maknanya dengan sepenuh hati sambil menunjukkannya dengan bangga. Kalau ia menjelaskan setiap detilnya, mungkin percakapan kami akan berlangsung hingga matahari terbit.

Soal tato favorit, Iyos tidak memilikinya. Semuanya setara dan bermakna dalam. Tapi ketika ditanya tentang karya favorit untuk klien, Iyos justru menjawab dengan perspektif permintaan klien. “Soalnya, hampir menyerupai gambar yang kita contoh. Hasilnya hampir samalah,” katanya. Sebagai seorang seniman tato, ternyata Iyos adalah orang yang lebih mementingkan kepuasan klien.

“Itu lebih kayak ngasih jasa yang ini aja, sih, … kasih pelayanan yang terbaiklah,” ujar Iyos. Itulah yang menjadi tumpuannya sebagai seniman tato. Itulah juga yang menjadi alasannya menyediakan jasa menato di mana saja, kapan saja, sesuai dengan kenyamanan klien.

Ditambah dengan reputasi baik Iyos sebagai tukang tato, temannya, Andy Sega akhirnya tertarik untuk mempercayakan penggambaran tato pertamanya kepada Iyos. Andy menceritakan keputusannya ditato di tengah malam dengan wajah mengantuk, di luar kedai kopi sembari menjauhkan diri sementara dari perkumpulan anak-anak dewasa muda yang obrolannya menembus jendela dan pintu. Di malam itu, tubuhnya hanya dibalut oleh kaus oblong hitam, membuka lebar-lebar kedua tato di bagian dalam lengannya.

Di tangan kanannya adalah lambang salib dan hati, sebagai simbol dari agama Kristen yang dianutnya. Sedang di tangan kiri, Andy menorehkan huruf Kanji Jepang yang berarti cinta. “Sebenernya konteksnya sama aja,” ujar Andy. Tangan kanan sebagai lambang cinta untuk Tuhan yang ia percayai, lalu tangan kiri sebagai lambang cinta untuk sesama.

Andy adalah orang yang cukup jujur. Sebelum memermanenkan tato di tubuhnya, ia sudah mengumumkannya kepada calon istri dan keluarganya. Tapi cerita yang lain ada untuk calon mertuanya. Aku tertawa besar bersama Andy ketika ia menyatakan kalau dirinya akan memberi tahu kedua calon mertuanya tentang tato-tato tersebut ketika sudah menikah dengan anak mereka. “Ya, bukannya bohong, ya. Gua kan cuma ga bilang,” katanya setelah selesai tertawa. “Karena udah jadi bagian dari keluarga gua juga, jadi harusnya dikasih tahu juga, sih,” tambah Andy.

Yang membuatku tertawa lebar adalah ketika mengingat ceritanya menyembunyikan kedua tato di lengan bawahnya kepada kedua calon mertuanya. Aku terbayang wajah gempal berkulit gelapnya yang dipenuhi keringat karena seharian menggunakan baju-baju berlengan panjang saat menginap di rumah calon mertua. Menghindari setiap pertanyaan mengenai apakah dirinya tidak merasa kepanasan.

Tetapi, Andy cukup adil. Meski dirinya ingin menambah tato, ia menahan diri dan menunggu sampai meresmikan diri menikah dengan calon istrinya dan sampai kedua calon mertuanya tahu. Sehingga, jika suatu hari ia menambah tato, mereka sudah tahu akan keputusan tersebut terlebih dahulu. “Gua mungkin harus bilang sama mertua dulu, karena kan nanti mau ga mau kita punya hubungan, kan? Takutnya kalo tiba-tiba banyak agak kaget,” katanya dengan seringai yang menunjukkan gingsulnya.

Melihat senyum Andy yang bangga dengan tatonya serta betapa bermaknanya tato yang ada di tubuhnya, aku kembali mengingat Iyos. Iyos yang sudah mendapat kepercayaan dari berbagai macam orang untuk menggambar hal permanen di tubuh mereka benar membuktikan perkataannya sendiri. “Ini pembuat sejarah, history maker,” ujarnya sambil menunjukkan tato di lutut kanannya, “karena gua yakin, sih, pasti gua bakal membuat sejarah, entah itu dalam karya seni, entah itu dalam perbuatan baik gua, atau sosial-sosial gua dalam hidup, dalam kemanusiaan.”

Ya, sejarah yang Iyos tuliskan ada di dalam tubuh orang lain. Sejarah permanen yang akan terus ada seumur hidup mereka, sampai suatu hari daging-daging tersebut termakan oleh waktu dan melebur kembali di tanah. Iyos ada sebagai seorang seniman yang memberi karya permanen yang menemani seseorang seumur hidup mereka. Setidaknya, jasanya sudah menjadi sejarah yang hidup bersama klien-kliennya.

Aku mengaku pada Iyos bahwa percakapan tentang tato sempat membuatku tertarik untuk memiliki tato. Namun, keraguan datang karena aku yakin akan ketidaksetujuan orang-orang terdekat. Jawaban Iyos menjadi penutup sekaligus bahan merenung untukku setiap mengingat mereka yang memilih untuk bertato. Ia tertawa dan berkata, “Ga masalah, ga usah, ga apa-apa. Maksudnya, itu kan pilihan hidup masing-masing, kan?”

DISCLAIMER: Artikel ini disusun sebagai tugas mata kuliah Narrative Journalism, Program Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia tahun ajaran 2022/2023.

— Nathania S. Alexandra, 2023

--

--

Nathania S. Alexandra

A story-teller and lover of tunes. Also known as Nathantania and mewseeshan.