Yang Tenang di Sini

In Memoriam, Om Marthin Saba

Nathania S. Alexandra
4 min readMay 5, 2023

Kau tahu ketika kau kehilangan seseorang, mereka akan selalu berkata kalau mereka sudah tenang “di sana”? Aku tidak bilang kalau aku tidak percaya dengan itu. Yang ingin kukatakan, kadang aku yang belum tenang “di sini”.

Maksudku, hidup saja di dunia bukan hal yang mudah. Apalagi seiring dengan berjalannya waktu, kau akan terus kehilangan dan kehilangan dan kehilangan. Aku ingat pertama kali merasa kehilangan adalah di tahun 2006, ketika aku masih di taman kanak-kanak dengan rambut dikuncir dua dan wajah lugu. Aku belum benar-benar mengerti apa itu meninggal, jadi aku belum menangis.

Tamparan baru tiba ketika aku melihat tubuh kakekku yang tak berdaya digotong ke dalam ambulans dan kemudian mereka bilang akan dikubur. Di situ aku sadar, aku tidak akan bertemu dengannya lagi di rumah besok pagi. Ah, sial, aku belum puas bercanda dan menyuapi obat-obatannya sambil dipangku.

Setelah hari itu, aku mulai takut dengan kematian. Seram pasti, pikirku, untuk menutup mata dan kehilangan kesadaran selama-lamanya. Tapi nenekku berkata jangan takut karena orang-orang akan berpindah ke Surga setelah menyelesaikan hidupnya di bumi. Dari situlah aku belajar maksud “tenang” yang sering disebut orang-orang. “Oh,” kata diriku yang masih kecil itu.

Sekarang aku menginjak umur 20-an dan sudah lebih berpengalaman ditinggal oleh orang-orang yang kusayang. Ada sebuah peribahasa yang menyatakan, “Tua-tua kelapa, makin tua makin berminyak,” alias katanya semakin kita tua maka kita akan semakin bijaksana. Kupikir dengan adanya peribahasa tersebut, seharusnya semakin dewasa, semakin kuat pula aku dalam menghadapi rasa kehilangan.

Tapi tidak juga. Justru semakin lama aku hidup, semakin banyak pula aku menciptakan ikatan. Kau tahu rasanya ketika kecil, baik dan jahat sudah seperti hitam dan putih. Tapi semakin tua, semua terasa semakin abu-abu. Itulah sebabnya ketika kau bertemu dengan orang yang sungguh baik, kau akan benar-benar menyayangi dan mengaguminya.

Lalu apa yang terjadi ketika mereka pergi meninggal dunia? Rasanya sesak, gila, dan mengagetkan. Aku tidak tahu kenapa juga semakin tua, orang-orang semakin menutupi perasaannya. Begitu pula denganku yang berusaha untuk tidak sedih ketika ditinggalkan.

Lima belas tahun setelah pertama kali kehilangan orang yang kusayang, satu orang lagi mendadak pergi. Ketika aku bilang mendadak, maksudku benar-benar mendadak. Memang, serangan jantung tidak datang mengetuk pintu dan berkata permisi. Padahal ia bukan orang yang sedekat itu. Hubungan kami adalah dua orang yang saling kenal dan peduli.

Ia lebih patut dikenal sebagai teman dari orang tuaku ketimbang temanku. Tapi ia salah seorang yang mendengarkanku sebelum orang lain mendengarku. Orang yang memberi senyum pengertian ketika aku lelah menunggu orang tuaku menyelesaikan kegiatan mereka.

Aku suka bernyanyi, bedanya dia memang musisi yang bernyanyi untuk mencari nafkah. Tapi dia mengajarkanku untuk bercerita ketika bernyanyi. Ia suka berkata, “Nyanyikan apa yang kau hidupi, dan hidupi apa yang kau nyanyikan.” Menurutku, dia orang yang hebat. Musik hidup ketika senandung lagu keluar dari mulutnya.

Ketika ia meninggal pada Februari 2021, aku hanya diam. Pandemi menghalangiku untuk bahkan hadir di pemakamannya yang terbatas. Aku mengurung niat untuk bahkan melihat kembali foto-fotonya dan mendengar suaranya. Dulu aku tidak menangis karena tidak tahu apa itu meninggal dunia, tapi kini, aku tidak menangis karena menolak realita kalau ia sudah meninggal dunia.

Tapi sepandai-pandainya aku kabur dari realita, tetap saja apa yang terjadi tetap terjadi. Sudahlah dua tahun berlalu tetapi bulan April, bulan kelahiran beliau tetap terasa sendu. Biasanya ada ulang tahun yang dirayakan. Tapi sudah tiga tahun aku tidak mengucapkan selamat panjang umur padanya.

Tapi April ketiga tanpanya berlangsung berbeda. Ketika kudengar berita kalau kakaknya ikut meninggal, aku terdiam. Rabu, 19 April 2023 adalah hari yang kelabu. Rasanya seperti air mata yang seharusnya mengalir dua tahun yang lalu akhirnya terjatuh.

Selagi aku duduk termenung mengaku rindu dengan Sang Almarhum kepada seorang kawan, ia berkata, “Oh, gue tahu, dia yang bilang, ‘Nyanyikan apa yang kau hidupi, dan hidupi apa yang kau nyanyikan,’ kan?”

Aku terdiam sampai hanya bisa berkata, “Oh.” Padahal, kawanku tidak mengenalnya selama ia hidup. Tapi ternyata kisahnya bisa diam dalam benak orang lain yang belum mengenalnya.

Di hari itu aku sadar kembali. Ternyata seseorang tidak benar-benar hilang ketika mereka meninggal dunia. Kisahnya masih tinggal di dalam diri orang-orang yang pernah bersinggungan dengannya, kemudian tersebar lagi ke orang-orang lainnya. Mungkin, mungkin saja, dengan pengetahuan ini aku bisa tenang “di sini”, seperti mereka yang sudah tenang “di sana”.

Mungkin juga kali ini aku bisa tersenyum lebih bahagia lagi setelah menangis tersedu-sedu sepuasnya.

“Sing what you live, live what you sing.” — Marthin Saba. Photo source: Instagram (at)marthinsaba

DISCLAIMER: Personal essay ini disusun sebagai tugas mata kuliah Narrative Journalism, Program Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia tahun ajaran 2022/2023.

— Nathania S. Alexandra, 2023

--

--

Nathania S. Alexandra

A story-teller and lover of tunes. Also known as Nathantania and mewseeshan.